LAMPUNG TIMUR – “Orang yang makan nangkanya, kami kena getahnya”. Begitulah peribahasa yang tepat untuk puluhan petani pemilik lahan di Desa...
LAMPUNG TIMUR – “Orang yang makan nangkanya, kami kena getahnya”. Begitulah peribahasa yang tepat untuk puluhan petani pemilik lahan di Desa Tri Sinar dan Desa Mekar Mulya terdampak genangan Bendungan Marga Tiga, Kabupaten Lampung Timur. Mereka harus memenuhi panggilan dari Tim Penyidik Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) Polda Lampung di Gedung Tribrata Polres Lampung Timur, Selasa (28/03/2023).
Dari hasil undangan wawancara klarifikasi yang dilayangkan oleh Polres Lampung Timur tersebut, membuat para petani kecewa atas tindakan penyidik Tipikor Polda Lampung dan Polres Lamtim yang mengklarifikasi jumlah tanam tumbuh. Petani menganggap klarifikasi ini tidak manusiawi dan tidak berkeadilan.
Salah satu petani yang enggan disebutkan namanya mengatakan, bahwa tanahnya seluas sekitar lima ribu meter persegi dengan rincian jenis tanam tumbuh yang dimilikinya sebanyak 10 jenis tetapi tidak diterima oleh penyidik.
Dengan dalih, jenis dan jumlah tanaman petani itu harus disesuaikan dengan foto udara citra satelit tahun sebelum adanya penetapan lokasi yang ditetapkan oleh Gubernur Lampung tahun 2020.
Padahal proses pengukuran dan identifikasi pada bidang tanah mereka mulai dilakukan oleh Satgas yang dibentuk oleh BPN Lamtim pada bulan September 2021 silam.
“Tanaman milik saya 10 jenis tidak diterima polisi. Katanya disuruh lihat foto udara citra satelit di laptop yang sepengetahuan saya hasil pada tahun jauh sebelum ditetapkannya penetapan lokasi genangan Bendungan Marga Tiga tahun 2020, mbiyen,” ujarnya kepada progresifjaya.id.
Dia mengatakan, pada saat bulan Ramadhan, September tahun 2021 silam, proses pengukuran dan identifikasi penghitungan tanam tumbuh oleh Satgas B baru turun. “Padahal tanam tumbuh milik kami sudah ada jauh sebelum adanya rencana Bendungan Marga Tiga,” katanya.
Proses penghitungan dengan menggunakan foto udara citra satelit dan rumusan pertanian itulah yang membuat puluhan petani Desa Mekar Mulya, Desa Tri Sinar dan warga desa lainnya di Polres ini mereka anggap tidak berkeadilan dan tidak manusiawi.
Padahal proses pembesasan genangan PSN Bendungan Marga Tiga ini melibatkan sekitar 23 desa dari 4 kecamatan dan terdapat 19 desa telah aman sentosa menerima uang ganti rugi tanpa dilakukan proses verifikasi tanam tumbuh yang cukup rumit menggunakan sistem penghitungan foto udara citra satelit seperti pada hari Selasa itu.
“Kenapa proses penghitungan tanam tumbuh foto udara citra satelit yang memakai rumusan jarak tanam penanaman itu diterapkan hanya pada dua desa ini saja. Bagaimana dengan 19 desa yang telah menerima uang ganti rugi? Mereka telah aman sentosa tanpa diusik oleh para penegak hukum,” ujarnya.
Baru Gunakan Foto Satelit
Staf Ahli Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Yuwono Saputra ketika dimintai tanggapan perihal di atas melalui pesan Whats App-nya, menjelaskan bahwa proses yang dilakukan oleh tim penyidik Tipikor Polda dan Polres terhadap 1.438 bidang itu untuk proses penegakan hukum dengan tujuan tertentu dari hasil audit dari BPKP Provinsi Lampung.
Tidak hanya terdiri dari bidang tanah dua desa tersebut, sebut dia, melainkan hal serupa menggunakan foto udara, citra satelit dan rumusan pertanian itu juga dilakukan terhadap 299 bidang tanah sisa yang belum terbayarkan di luar Desa Tri Sinar dan Desa Mekar Mulya.
“Penggunaan foto udara dan peta citra, pembakuan jarak tanam dan dokumen-dokumen lainnya seperti berita acara inventarisasi merupakan langkah pencegahan kerugian keuangan negara, sebagai tindak lanjut audit dengan tujuan tertentu yang dilakukan BPKP,” ujar Yuwono.
Kembali dijelaskan Yuwono, perihal sistem yang diterapkan saat ini dikarenakan dalam proses pengadaan tanah yang sedang berlangsung ternyata ditemukan masalah Tipikor (Tindak Pidana Korupsi).
Sehingga pemerintah juga memberikan kesempatan untuk klarifikasi terhadap 1438 bidang tanah yang belum menerima uang ganti rugi yang dimulai hari ini (Selasa, red) dengan penggunaan teknologi untuk melihat kondisi sebelum penetapan lokasi.
“Penggunaan foto udara dan peta citra, pembakuan jarak tanam dan dokumen-dokumen lainnya seperti berita acara inventarisasi merupakan langkah pemerintah dalam rangka pencegahan kerugian keuangan negara, dikarenakan dalam proses pengadaan tanah yang sedang berlangsung ternyata ditemukan masalah Tipikor,” kilahnya.
Yuwono Saputra juga mengklaim bahwa ia pun ikut memantau pelaksanaan verifikasi di Gedung Tribrata Polres Lampung Timur pada hari itu dan menurutnya berjalan dengan aman dan lancar.
Namun ketika progresifjaya.id mencoba menggali keterangan terhadap staf ahli Kemenko Marves itu selain upaya yang dipakai pemerintah terhadap puluhan petani, mungkinkan terhadap 19 desa yang telah menerima uang ganti rugi akan diperlakukan verifikasi ulang kembali?
Namun Yuwono Saputra berdalih bahwa untuk kewenangan itu merupakan hak dari penyidik yang bisa menjawabnya.
Pemerintah Ambil Keputusan Sepihak
Salah satu tokoh masyarakat Jadimulyo, A. Ali (40) menegaskan, bahwa pemerintah telah mengambil keputusan yang sepihak.
Menurutnya, dengan memberlakukan sistem tersebut kepada Desa Tri Sinar dan Desa Mekar Mulya sama sekali belum jelas akan besaran nominal ganti rugi yang akan didapat kok tiba-tiba petani dihadapkan lagi langkah pemerintah terkesan membabi buta dengan dalih undangan wawancara klarifikasi yang tertera pada surat undangan Polres Lampung Timur.
“Sepatutnya pemerintah sebelum menerapkan sistem foto udara citra satelit, mbok ya petani ini dikumpulkan dulu, berikan penjelasan dan pemahaman jangan terkesan sistem ini membabi buta alias dzolim tidak berkeadilan tanpa melihat dengan kacamata intelektual,” terangnya kepada progresifjaya.id saat dihubungi via handphone.
Dirinya pun bertanya-tanya atas kinerja para pemangku kepentingan khususnya penanggung jawab pelaksana PSN Bendungan Marga Tiga di Provinsi Lampung tersebut.
Proses pekerjaan dua tahun lebih dibentuknya Satgas dan pelaksana lainnya yang kesemuanya pekerjaan mereka menggunakan uang negara alhasil tetap memakai sistem teknologi citra satelit yang keakurasiannya pun diragukan.
Sehingga, wajar jika petani bertanya-tanya, apakah hasil kerja pakai uang negara Satgas A dan B itu tidak dipakai lagi? Dan kemudian apakah nantinya hasil yang konon katanya wawancara klarifikasi oleh Tim Tipikor inilah yang akan dipakai?
“Sungguh ini suatu kekejaman rezim terhadap kami yang notabene nya petani wong cilik Pak Presiden Jokowi. Sampai detik ini belum menerima jumlah besaran nominal uang ganti untung yang dijanjikan oleh pemerintah,” tutupnya.
Dari penelusuran progresifjaya.id di lapangan, sebagian besar petani di Desa Mekar Mulya dan Desa Tri Sinar, calon penerima ganti rugi atas tanah dan tanam tumbuh mereka meminta kepada semua pemangku kepentingan terutama Presiden Joko Widodo dapat memberikan kebijakan yang tidak menindas petani wong cilik.
Terutama penegakan rasa keadilan hukum pula terhadap 19 desa yang telah menerima uang ganti rugi yang sebelumnya sempat membuat gaduh lintas media dan LSM atas adanya dugaan permasalahan hukum di beberapa Desa yang telah cair uang ganti rugi tersebut.
Apalagi menjelang tahun politik saat ini yang bisa saja merusak citra negatif terhadap semua proyek nasional presiden yang dimana-mana sedang dikebut pengerjaannya.
Sampai berita ini diturunkan; progresifjaya.id belum bisa mendapatkan keterangan pers pihak Satuan Tipikor Polda Lampung atau Satuan Tipikor Polres Lampung Timur.
COMMENTS